Remaja di satu sisi merupakan generasi harapan bangsa namun di sisi lain menghadapi banyak permasalahan yang bukan tidak mungkin akan mengganggu perkembangan fisik maupun psikologis mereka selanjutnya. Di antara persoalan yang banyak dihadapi oleh para remaja adalah persoalan kesehatan reproduksi. Kesehatan reproduksi sendiri dapat diartikan sebagai suatu kondisi sehat yang bukan saja berarti bebas dari penyakit atau kecacatan namun lebih daripada itu sehat termasuk secara mental dan sosial berkaitan dengan sistem, fungsi dan proses reproduksi. Kesehatan reproduksi remaja (KRR) memperoleh perhatian tidak saja di Indonesia tetapi juga secara internasional karena hasil dari berbagai penelitian terlihat bahwa para remaja makin melakukan hal-hal yang tidak mendukung konsep sehat tersebut di atas Perilaku hubungan seksual sebelum menikah makin sering dipraktekan oleh para remaja, makin banyak remaja yang terjangkit berbagai jenis penyakit menular seksual (PMS) serta tidak sedikit remaja yang melakukan tindakan aborsi (pengguguran kandungan). Analisa yang dilakukan oleh Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia atas data SDKI-97 memperlihatkan bahwa sekitar 43% responden melahirkan anak pertamanya kurang dari 9 bulan sejak tanggal pernikahannya. Meski angka tersebut meliputi angka kelahiran prematur, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa terdapat proporsi yang cukup besar di antara mereka yang telah hamil sebelum menikah.Contoh lain adalah data aborsi. Para ahli memperkirakan (tidak ada angka resmi karena aborsi adalah ilegal di Indonesia)bahwa kasus aborsi di Indonesia adalah sekitar 2,4 juta jiwa per tahun dan sekitar 700 ribu di antaranya dilakukan oleh para remaja. Contoh di lapangan, seorang bidan di suatu kecamatan di daerah Lampung Tengah mengembangkan klinik konsultasi remaja mengatakan bahwa rata-rata setiap bulannya ia menerima 25 remaja untuk melakukan konsultasi yang berkaitan dengan kasus narkoba, PMS, kehamilan dan penanganan paska aborsi ilegal. Kasus-kasus di atas nampaknya hanyalah gunung es (iceberg), di mana jumlah kasus sesungguhnya jauh lebih banyak dari kasus yang tampak. Jika di satu sisi kecenderungan remaja untuk melakukan berbagai tindakan yang membahayakan kesehatan mereka sendiri semakin meningkat, namun di sisi lain ternyata pengetahuan para remaja itu sendiri mengenai aspek kesehatan reproduksi yang harus mereka miliki sangatlah rendah. Berbagai informasi yang mereka peroleh kebanyakan bukan berasal dari mereka yang memang ahli di bidangnya,namun justru dari sumber informasi yang kadang-kadang malah menyesatkan. Masalah kultur, pola komunikasi serta kurangnya pengetahuan menyebabkan para remaja sulit berkomunikasi dengan orang di sekitarnya bahkan dengan orang tuanya sendiri; yang seharusnya dapat membantu para remaja tersebut. Kondisi kurangnya pengetahuan yang dimiliki remaja maupun orang di sekitar yang berpengaruh pada kehidupan mereka tidak seimbang dengan gencarnya pemberitaan atau pesan yang bersifat menonjolkan seks atau dalam bahasa inggris biasa disebut dengan “sexually explicit message (SEM)”, yang dapat mengilhami para remaja untuk mencoba meniru isi pesan yang mereka terima. Dalam kondisi masyarakat yang demikian, pihak yang sering menjadi korban adalah para remaja putri karena mereka sering tidak berdaya untuk menerima rajuan dan paksaan untuk melakukan hubungan seks di luar nikah. Dampak yang lebih jauh lagi adalah para remaja kemudian tidak tahu tindakan apa yang harus mereka lakukan jika kemudian mereka mengalami kehamilan yang tentu saja tidak mereka inginkan. Kesemuanya ini tentu saja membuka wawasan bahwa diperlukan suatu mekanisme untuk membantu remaja agar mereka mengetahui berbagai aspek yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Dengan pengetahuan tersebut tentu saja tidak dimaksudkan agar para remaja mencoba melakukan hubungan seks namun justru agar mereka memiliki sikap dan tingkahlaku yang bertanggung jawab. Melalui pendidikan tersebut diharapkan para remaja mempunyai pengetahuan mengenai anatomi serta proses reproduksinya, serta kemungkinan resiko yang timbul apabila berperilaku reproduksi yang tidak sehat. Disamping itu, pendidikan kesehatan reproduksi diperlukan untuk memberikan pengetahuan agar remaja dapat memanfaatkan waktu remajanya yang terbatas untuk melakukan kegiatan yang produktif dan sehat untuk mempersiapkan masa depannya.
Label: pmr
|
Posting Komentar